Menyala
Berkali-kali kau izinkan air bersahabat dengan api
Membuat lilin-lilin kecil itu mati
Seakan semua baik-baik saja
Seakan semua seharusnya seperti itu
Tapi kami tidak bodoh
Akan kami nyalakan kembali
Tidak peduli kau punya bergalon-galon
sedangkan kami hanya punya sebatang korek kecil
Makassar, 21 Mei 2018
Reformasi yang sudah 20 tahun katanya…
Malam itu saya menemani seorang teman untuk pergi mengamati sebuah kawasan di kota ini. Sudah beberapa bulan belakangan, kawasan itu sedang berada di situasi siaga. Bukan karena bom yang mungkin akan meledak dari orang-orang yang mengatasnamakan agama untuk membunuh orang lain, bukan karena sebentar lagi akan ada erupsi dari gunung yang aktif, bukan karena akan ada perang yang sebentar lagi terjadi, tapi karena orang-orang di kawasan itu sedang menunggu suatu kepastian akan nasib “rumah” mereka di atas tanah yang mungkin akan beralih menjadi sesuatu yang lain. Dan seperti yang pernah terjadi, kemungkinan besar itu bukan sesuatu yang adil.
Sebelum menulis tulisan ini, saya bertanya kepada beberapa teman tentang bagaimana konsep “rumah” bagi mereka. Jawaban mereka bisa membuat saya menarik kesimpulan kalau rumah adalah sesuatu yang nyaman. Tempat yang mengizinkanmu untuk pulang dan melakukan apapun itu.
Lalu bagaimana kalau tempat itu harus direbut atau dijadikan sesuatu yang lain dan itu tentu bukan lagi menjadi rumahmu? Jawaban mereka adalah ya, mereka marah.
Seorang warga memperlihatkan saya bekas beberapa rumah yang
sudah diratakan. Saya bertanya bagaimana nasib para pemilik rumah atau keluarga yang pernah tinggal di sana? Dia mengatakan kalau sebagian pindah ke tempat lain dan sebagian kecil terpaksa harus bergelandangan karena uang kompensasi (semoga istilah ini benar) tidak cukup dan bagi saya nominal sebanyak itu memang tidak adil jika dibandingkan dengan harus kehilangan tempat tinggal, wilayah pekerjaan, dan akses pendidikan. Ya, segala hal itu memang bisa didapatkan. Tapi tidak semudah itu untuk pindah.
Sebenarnya ada yang menarik dari jawaban teman saya mengenai rumah. Bahwa kadang konsep rumah itu tidak harus selalu berbentuk materi. Perasaan nyaman itu adalah intinya dan tentu “nyaman” bukanlah sesuatu yang bisa kita lihat. Dan bagi saya kenyamanan itu bukan hanya yang terjadi di dalam rumah saja, tapi juga di sekitar rumah. Warga yang harus pindah dari kawasan itu mungkin bisa mudah saja pindah jika diberi uang kompensasi yang banyak untuk digunakan membeli atau menyewa tempat tinggal lain, tapi untuk memindahkan perasaan nyaman dari teman main gitar di lorong, nongkrong ngopi sambil membahas hal remeh sehari-hari, berkeliling naik sepeda sepanjang sore, mencabut daun kangkung dari batangnya sambil bergosip, atau masuk ke rumah tetangga tanpa izin karena sudah dianggap seperti keluarga tentu tidak akan pernah mudah dihilangkan begitu saja. Pindah secara fisik artinya juga harus ikut memindahkan hati dan perasaan. Dan jenis pindah yang tidak terukur itu tentu jauh lebih sulit.
Tapi orang-orang itu terlampau jahat. Nominal uang kompensasi terlalu sedikit, wilayah pekerjaan yang tentu harus berpindah juga tidak pernah dipikirkan oleh orang-orang itu, akses pendidikan yang harus mereka terima di tempat baru juga tidak dibicarakan, apalagi menyoal perasaan nyaman dan sebagainya. Orang-orang itu hanya tahu bahwa kawasan itu harus segera dirapikan dan diganti menjadi sesuatu yang layak bagi kota. Entah bagaimana konsep layak itu.
Rumah-rumah di kawasan itu memang berimpitan, tapi persis seperti suasana di sana yang dekat dan membuat segalanya terasa hangat. Lorong-lorong di sana memang kecil, tapi saya yakin hati mereka luas. Saya iseng pergi ke rapat warga hanya untuk mendengarkan, tapi mereka menyediakan minuman dan bolak balik menyuruh saya makan meskipun saya sama sekali baru dan tidak berkontribusi apapun pada rapat. Begitupula ketika saya duduk berbicara dengan teman saya di pinggir jalan, tiba-tiba ada warga yang memberikan saya dua bungkus kacang dan menawarkan segelas susu. Hal-hal kecil seperti itu selalu berharga dan rasa nyaman itu di tempat ini saya yakin akan selalu ada bagi siapapun.
Kawasan itu telah menjadi satu rumah yang sangat luas dan nyaman bagi seluruh yang hidup di sana. Itulah tempat pulang mereka. Dan merebut itu begitu saja tidak akan pernah menjadi sesuatu yang adil.