Bagi saya mendengarkan secara tidak sengaja lagu kesukaan yang tiba-tiba muncul di radio terasa lebih menyenangkan daripada ketika saya memang sengaja untuk memutarnya. Seperti mendapati seseorang yang menuliskan sesuatu tentang film kesukaan kita dan kita merasa senang begitu saja karena mengetahui ada orang lain yang juga menyukai apa yang kita sukai. Kita mungkin menyukai sesuatu yang tiba-tiba, sesuatu yang tidak kita paksakan untuk ada tapi kalau sesuatu itu ada maka entah kenapa kita merasa lebih baik. Dan kita juga senang tentang fakta bahwa sebenarnya kita tidak pernah betul-betul sendiri. Di dalam sesuatu yang lain, mungkin akan selalu ada bagian dari diri kita (atau barangkali sepenuhnya diri kita?)

Saya suka sekali menggunakan kata “kita” padahal mungkin hanya saya sendiri yang seperti itu. Dan sekarang saya tidak tau bagaimana untuk menuliskan semua ini dengan sederhana?

Saya rasa saya kehilangan bakat menyampaikan sesuatu dengan tidak berlika-liku seperti ini. Semakin kesini pikiran saya semakin riuh dan minta dikeluarkan terus-terusan. Dan hal ini sering sekali membuat saya terdengar menyebalkan ketika berbicara dengan orang lain. Di detik setelah saya mengucapkan kata-kata yang berlebihan itu, saya merasa bersalah dan tentu akan lebih aneh lagi kalau saya tiba-tiba meminta maaf.

Lalu karena sering merasa seperti itu saya kemudian memilih diam. Menyeleksi sendiri di kepala saya tentang kata-kata yang mereka ucapkan dan membalasnya di pikiran saya sendiri. Tentu ini bukan sesuatu yang bijak.

Kalau ditelusuri sepertinya ini akibat dari betapa terburu-burunya saya dalam melakukan sesuatu. Semua ini asalnya sejak SMP, sejak saya memiliki hobi terlambat bangun pagi yang otomatis menyebabkan saya terlambat masuk sekolah. Dan karena itu saya harus mempercepat semua rutinitas di pagi hari.

Saat SMA kebiasaan itu berlanjut dan tanpa sadar setiap waktu langkah kaki saya terlalu cepat walaupun sedang berjalan biasa. Sering sekali teman saya memegang lengan saya tiba-tiba ketika berjalan berdua. Lalu dia akan bertanya apa yang membuat saya begitu terburu-buru.

Hal itu mungkin terdengar sederhana tapi itu seperti efek kupu-kupu dalam kehidupan saya. Ritme kehidupan sehari-hari saya menjadi terlalu cepat. Saya sering melangkah-langkahi kalimat yang menurut saya tidak penting ketika membaca, membeli barang baru terlalu cepat padahal barang yang sebelumnya  masih bisa digunakan, menyelesaikan tugas-tugas begitu saja tanpa betul-betul memahami proses dari semua itu, dan sulitnya adalah ketika saya juga mengharapkan hal yang sama kepada orang lain untuk mengikuti ritme hidup saya ini. Saya jadi tidak menyenangi orang-orang yang terlalu lambat atau yang membuat saya harus menjadi lambat.

Ini tentu tidak adil bagi mereka dan terutama untuk saya sendiri.

Tapi saya pernah membaca artikel opini yang sebenarnya berhubungan dengan masalah saya ini. Judulnya “Menjadi Lambat Menjadi Hidup: Revolusi Gaya Hidup Lambat di Tengah Peradaban yang Buru-buru” karya Titah AW. Bahwa kehidupan saat ini memang terlalu terburu-buru dan membuat kita yang hidup di dalamnya juga tanpa sadar mengikuti. Seperti contohnya bagaimana orang-orang menganggap kalau seorang mahasiswa idealnya lulus 3,5 tahun. Bagi saya sendiri pendidikan di universitas bukanlah soal kecepatan dalam menyelesaikannya (Toh pada hakikatnya kita tidak pernah selesai dalam belajar)

Saya tidak suka pada standar ideal 3,5 tahun itu karena semua orang punya waktunya sendiri-sendiri dalam menyelesaikan sesuatu hal. Saya sendiri adalah tipe orang yang lambat mengerti sesuatu dan saya memiliki teman yang mudah mengerti segala hal. Apakah saya harus memaksakan mengikuti ritme teman saya itu sedangkan pikiran saya belum mampu?

Tidak mungkin dan tidak menyenangkan memaksakan sesuatu.

Tapi ini karena saya menganggap perkuliahan adalah salah satu proses belajar jadi saya menghubungkannya pada proses memahami. Kecuali kalau kamu menganggap perkuliahan adalah pintu masuk dunia pekerjaan, maka itu bisa jadi hal yang berbeda.

Namun saya tetap mengerti tentang mahalnya UKT (Uang Kuliah Tunggal) yang menjadi salah satu penyebab mahasiswa ingin segera menyelesaikan kuliah. Saya mengerti itu karena saya juga tidak ingin membebani kedua orangtua saya terus-terusan hanya karena saya lambat selesai. Tapi itu adalah masalah yang lain. Saya hanya mencoba membongkar struktur “ideal” yang menurut saya tidak seharusnya selalu seperti itu karena semua orang boleh punya standar idealnya masing-masing. Kalau ada seorang mahasiswa yang mampu menyelesaikan 3,5 tahun karena itu adalah waktu idealnya dia, maka dengan mahasiswa yang menyelesaikan di 7 tahun seharusnya bukan juga menjadi masalah.

Dan ini juga seharusnya sama dengan waktu untuk bekerja, menikah, atau menjalani apapun itu.  Sederhananya semua orang punya waktunya masing-masing. Diri kita memiliki ritmenya sendiri karena kita menjalani hidup ini untuk diri kita. Bukan untuk ritme atau hidup orang lain.

Tenang saja saya juga belum sepenuhnya menjalani ritme yang betul-betul saya inginkan. Berubah dan menyesuaikan ritme juga perlu pelan-pelan.

Saat ini saya hanya ingin melangkah lebih pelan agar saya bisa melihat lebih banyak hal dan menikmati apa yang setiap detik kehidupan ini tawarkan. Lagipula saya hanya hidup satu kali di bumi ini. Terlalu sayang untuk dihabiskan dengan kehabisan napas karena terlalu terburu-buru.

Makassar, 20 Juli 2018