Sebenarnya badan ini sedang tidak mampu untuk jalan-jalan dulu. Sebenarnya juga saya sudah membuat kesepakatan dengan diri sendiri bahwa untuk hari ini akan tiduran seharian agar demam kecil ini reda. Walaupun sebenarnya (lagi) di dalam hati ini, saya ingin memotret agar mungkin bisa bersenang-senang sedikit.

Kalau dunia ini sedang tidak baik-baik saja dengan saya, maka memotret adalah pilihan yang paling menyenangkan untuk kembali menerima dunia itu.

(Dan ternyata kalau membaca pengalaman-pengalaman fotografer hebat di sana, memotret bagi mereka kebanyakan juga untuk alasan seperti itu)

Untuk menemukan dan menerima dirimu sendiri.

Tapi karena badan ini untuk melihat hp saja menderita, maka sepertinya cukup adil untuk memberikannya jeda sehari dengan tidur di kamar sambil mendengarkan lagu.

Namun beberapa menit setelah saya memikirkan  itu semua, tiba-tiba saja saya diberitahu bahwa foto yang saya ambil di Pelabuhan Paotere kemarin kurang dan harus segera dilengkapi untuk dikirim malam ini.

What a beautiful mistake!

Badan saya yang tidak bisa diajak bekerjasama seharian tadi tiba-tiba mampu berdiri dan memilih mandi. Entah darimana kekuatan ini muncul.  Tapi saya tidak peduli, semangat itu satu-satunya yang saya perlukan.

Pelabuhan Paotere itu sangat jauh dari rumah saya. Bisa sekitar satu jam perjalanan untuk sampai di sana. Dan saya memang butuh waktu satu jam untuk tiba tadi. But distance means nothing when something means everything (actually, the real word is “someone” but yeaaah..)

Jadi tugas memotret saya kali ini adalah mengumpulkan foto bangunan di dalam Paotere. Saya tidak harus memotret kapal dan lagi pula sudah terlalu banyak foto kapal Paotere di dunia ini. Kalaupun saya ke sini dengan sukarela, saya tidak mau sekedar memotret kapal lagi. But you’ve already find out that the very first picture of this story is those boats. Okay. 

Akhirnya saya berjalan di sepanjang pelabuhan untuk memotret bangunan-bangunan di sana yang kebanyakan adalah warung kopi. Mungkin karena nelayan dan orang-orang di kapal adalah manusia-manusia yang harus terus begadang dan berkonsentrasi. Juga minum kopi di sini setelah melaut sepertinya adalah self healing bagi mereka, apalagi ditambah  dengan bercanda dan mendengarkan lagu-lagu, maka wajar saja banyak warung kopi. Dan ini juga Kota Makassar, biji-biji kopi terbaik dekat dari kota ini.

Setelah saya memperhatikan warung-warung kecil itu, ternyata saya baru menyadari kalau mereka membiarkan pohon tumbuh di dalam warung sampai pohon itu terlihat di atap. Atau mungkin pohon itu sudah ada dari dulu dan mereka tetap membangun warung tanpa harus menebang pohon? saya lupa bertanya. Dan hampir di setiap warung saya temukan hal seperti itu. Mungkin itu hal sederhana tapi hati saya senang sekali melihatnya. Saya sempat bertanya sedikit kenapa pohonnya tidak ditebang dan seseorang di dalam warkop menjawab “karena kita harus cinta sama alam ini”

iya, itu klise. Tapi itu benar dan memang seharusnya seperti itu.

Di saat pemerintah kota ini menebang pohon di sepanjang jalan untuk membangun jembatan layang, maka kesepakatan orang-orang di Paotere untuk tidak menebang pohon di warkop dan bangunan lain mereka adalah tindakan yang sangat luar biasa. Dan itu layak untuk diceritakan.

Berjalan di sepanjang Pelabuhan Paotere membuat saya sepenuhnya melupakan sakit kepala dan flu lucu ini. Lucu karena kadang saya tidak sadar dia keluar begitu saja. Skip.

Orang-orang di sini juga dengan ramahnya terus memanggil saya untuk minum kopi atau memotret apa yang sedang mereka kerjakan. Mungkin karena mereka telah terbiasa kedatangan para pemotret atau turis-turis. Tapi itu selalu berhasil menghangatkan hati saya. Entah sudah berapa kali saya ke sini.

Walaupun ini baru pertama kalinya saya menghabiskan sore di sini. Karena biasanya saya datang ketika pagi sebab aktivitas pagi hari ramai dan kita bisa melihat matahari terbit dengan sangat indah di balik tiang-tiang kapal, sepertinya untuk memotret warkop-warkop di sore hari kali ini adalah pilihan yang sangat benar.

Saya juga berjalan-jalan sampai di ujung pelabuhan dan tiba-tiba saja saya melihat matahari perlahan terbenam. Lalu bulan muncul dengan bulatan penuhnya dan kapal-kapal kemudian menyala. Pertama kalinya saya melihat sesuatu yang berbeda dengan Paotere dan kapal-kapal itu, bukan lagi dengan landscape kapal yang megah dan matahari terbitnya. Tapi dengan para nelayan yang duduk, bercerita sambil menikmati langit yang warnanya tidak lagi biru.

Semakin matahari menghilang, kapal-kapal mereka juga semakin tidak terlihat, hanya lampu-lampu di kapal dan bulan yang semakin terang. Dan entah kenapa semuanya terasa seperti sedang pulang.

Rasanya sama dengan sarabba yang tadi saya minum di rumah sebelum ke sini. Minuman yang baru saya minum lagi setelah sekian lama dan dari buatan seorang ibu. Hangat dan nyaman. Kekuatan kecil yang sama itu saya peroleh lagi di tempat yang sebenarnya jaraknya cukup jauh dari rumah asli saya.

Orang-orang di sini juga kaget mendengar lokasi rumah saya di mana. Mereka bilang rumah saya itu jauh sekali dari Paotere.

Tapi untuk kali ini saya tidak sepakat dengan mereka, saya rasa ini juga rumah. Dan ini dekat.

Sangat dekat.

Warkop Hj. Dewi, 25 Agustus 2018.