“So you are leaving?”
“yes”
“Everybody is leaving now..”
Percakapan saya dengan seorang perempuan Swedia yang saya lupa namanya. Dia baru saja menangis karena teman perjalanannya tiba-tiba harus pulang ke negara asalnya untuk bekerja. Saat itu saya sedang memasukkan baju-baju kotor ke dalam koper dan memikirkan bagaimana koper ini bisa muat dengan berbagai benda yang sebagian besar menyesal saya beli, kemudian perempuan itu datang sambil menangis ke samping tempat tidur saya.
Menginap di hostel membuat kami harus berbagi kamar seperti di asrama, hal yang baru pertama kali saya coba. Juga melihat orang asing ini menangis tiba-tiba. Dan sepertinya tidak ada manusia yang diciptakan untuk langsung mengetahui apa yang harus dilakukan ketika mendapati manusia lain menangis di depannya.
Satu-satunya pertanyaan yang bisa saya ajukan adalah “What happened?” sambil menghentikan segala aktivitas packing dan penyesalan itu. Dan seperti perempuan pada umumnya, dia menjawab “It’s okay” tapi terus menangis.
“But you are crying and it looks not really okay. You can tell me..”
Lalu dia bercerita soal teman perjalanannya yang tiba-tiba pergi. Dia tidak menceritakan rincinya, tapi saya hanya menduga mereka sepertinya habis bertengkar sehingga temannya ini memutuskan untuk pulang duluan.
“So you are gonna traveling alone now?”
Dia mengangguk sambil sesegukan. Saya hanya bisa memberikan pelukan dan ucapan “It’s okay..”
Ya, tidak ada yang salah dari sendirian. Tuhan saja esa.
Beberapa waktu lalu seorang teman meminta saya untuk membantunya menulis ucapan untuk ditaruh di venue pernikahannya, ucapan itu ceritanya adalah ungkapan perasaan dia kepada calon suaminya. Saya lalu bertanya kepadanya “Kenapa kau mau menikah kah dengan dia?”, setidaknya saya juga mau tahu alasan seseorang untuk memutuskan menghabiskan sisa hidupnya dengan orang lain.
“Karena sudah semua dia lihat yang baik, yang jelek dan dia tetap mau sama saya” jawabnya. Dia adalah teman dekat saya, begitupula pasangannya. Saya tahu apa yang dia maksud. Kita mungkin memang tidak pernah utuh ketika berhadapan dengan orang lain, tapi setidaknya ada satu orang di dunia ini yang mampu melihat (hampir) semua hal dalam diri kita dan tetap memilih untuk tinggal. Menemukan satu orang itu mungkin membuat dunia ini terasa jauh lebih baik.
Beberapa hari setelah saya memakai gaun yang cantik untuk menjadi bridesmaid dari teman saya itu, ummi (nenek) saya meninggal dunia.
Hari sebelumnya mama saya sudah pamit duluan untuk menjenguk ummi di rumah sakit, diabetesnya katanya kambuh dan jauh lebih parah dari sebelumnya. Mama mengejar pesawat pagi untuk pergi ke Raha, kampung saya di sudut Sulawesi Tenggara. Lalu malamnya saya ditelpon oleh kakak saya bahwa ummi sudah meninggal. Ada detik saya tidak memikirkan ummi, saya memikirkan mama saya. Bagaimana kabarnya dia?
Mama yang sebagai anak pertama dan jembatan untuk segala hal, membuat dia dan ummi menjadi sangat dekat. Hampir setiap hari terdengar mereka saling menelpon atau video call. Entah untuk membahas adik saya yang mau masuk SMP, om yang mau menikah, atau sesederhana cucian yang menumpuk karena musim hujan. Dan itu mereka lakukan bukan sekedar kewajiban anak dan ibu, tapi karena hal itu sudah menjadi agenda harian.
Ada banyak yang mungkin kami tidak mengerti dari ummi. Entah karena keras kepalanya atau bagaimana dia kadang memaksakan berbagai hal. Tapi saya selalu melihat mama menjadi penengah dan jembatan kepala ummi yang rumit itu kepada saudara-saudara lainnya. Ketika ada beberapa pernikahan saudaranya yang sulit diterima oleh ummi, mama saya menjelma menjadi dewan pengurus yang bertugas untuk meyakinkan kedua belah pihak. Belakangan saya ikut membantu memberikan saran.
Banyak sekali yang tidak terlalu bersepakat, tapi mama selalu membantu untuk melihat bahwa ummi hanya ingin memberikan yang terbaik untuk keluarganya, seperti selayaknya seorang ibu. Mungkin hanya bentuknya saja yang selalu tidak seperti kami inginkan. Dan sayangnya, sering sekali kami tersesat untuk mengerti. Tapi beruntungnya, mama saya selalu mampu untuk tidak ikut.
Kalau teman saya mendapatkan satu orang yang bisa melihat dirinya dengan nyaris utuh dan tetap tinggal, saya rasa satu orang itu untuk ummi adalah mama.
Setelah dia pulang, saya kira dia akan sangat berubah dan setidaknya saya akan sangat memahami itu. Tidak ada tutorial bagaimana untuk tetap baik-baik saja setelah orang yang kita sayangi pergi. Tapi kenyataannya dia memang tetap baik-baik saja. Rumah yang ditinggalkan hampir seminggu tanpa seorang ibu menjadi sangat bersih ketika dia pulang, baju-baju kembali dicuci dan dijemur tepat waktu, makanan hangat yang dimasak sendiri kembali tersedia, dan dia tetap keluar sesekali. Hanya saja kini dia lebih sering ingin diajak bicara.
Saat saya pulang tengah malam, menyalakan TV dan duduk untuk memikirkan apakah akan makan atau langsung tidur saja, dia terbangun dan menanyakan beberapa hal. Itu pertama kali saya bertemu setelah dia pulang. Saya lupa apa yang pertanyaannya, tapi saya ingat dia menyuruh saya makan dan mengingatkan untuk menutup erat toples kacang metenya.
Saya mungkin sedikit mengira dia akan seperti perempuan Swedia yang menangis waktu itu, tapi dia mama saya. Dia mungkin juga kehilangan teman terdekat, teman perjalanan hidupnya. Namun kehilangan kali ini mungkin melampaui air mata itu. Ada yang harus berjalan, ada yang harus tetap baik-baik saja. Dan saya sadar ia punya banyak sekali kekuatan yang mungkin tidak pernah saya mengerti, apalagi miliki.
Tapi setidaknya saya ingin jadi satu orang yang melihat semua tentangnya dengan nyaris utuh dan tetap tinggal. Kalaupun juga tidak semuanya, pilihan untuk tinggal itu yang masih dan akan terus utuh.